Tuesday, December 15, 2009

image

Film tentang tewasnya lima wartawan Australia di Timor Leste atau dikenal dengan nama Balibo Five batal diputar perdana di Jakarta. Pemutaran film itu disponsori oleh Jakarta Foreign Correspondents Club. Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF) telah memutuskan film ini tidak lulus sensor atau dilarang.

Film yang disutradarai Robert Connolly ini mengisahkan kebrutalan tentara Indonesia yang melakukan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia pada 1975. Para jurnalis tersebut adalah Gary Cunningham, Malcolm Rennie, Greg Shackleton, Tony Stewart, dan Brian Peters. Hal itu kontradiktif dengan penjelasan otoritas RI bahwa para wartawan itu tewas secara tidak sengaja dalam sebuah baku tembak.

Menurut rencana, Balibo Five juga akan ditayangkan di Jakarta Internasional Film Festival (Jiffest) pada 4-12 Desember.

Sebelumnya, pada September, Departemen Luar Negeri telah meminta pejabat tinggi Deplu bertemu dengan Menlu Australia untuk meminta klarifikasi isu kasus ‘Balibo Five’, yang tengah diinvestigasi kembali oleh Kepolisian Federal Australia (AFP).

Bagi Indonesia, kasus Balibo Five sudah selesai. Melalui juru bicaranya, Teuku Faizasyah, Deplu menyatakan kasus Balibo Five tidak peru dibuka kembali, karena akan berpotensi membuat hubungan Indonesia-Australia tidak kondusif. Film Balibo Five sendiri merupakan film fiksi yang dibuat berdasarkan persepsi sang sutradara.Rencana pemutaran film “Balibo Five” di Indonesia sesungguhnya tidak mencerminkan sikap Australia dalam konteks hubungan bilateral. “Pemutaran film Balibo Five itu hanya akan membuka luka lama yang sudah lama terkubur,” katanya.

Kepala Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Undana Wilhelmus Wetan Songa, SH.MHum itu menambahkan, kalaupun ada maksud lain dibalik rencana pemutaran film Balibo Five, tentunya Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai lembaga yang paling berkompeten untuk bersikap apakah menerima atau menolak untuk diputar di Indonesia.

“LSF-lah yang paling berkompeten untuk menyensor setiap film yang hendak di tayang ke publik dan apakah dampak-dampak yang akan terjadi dari segi seni, pendidikan, politik, keamanan, pedamaian dan dampak lainnya dari sebuah film seterlah ditonton masyarakat,” katanya.

Menurut Wetan, kalau dampak pemutaran film itu menganggu hubugnan bilateral antara Indonesia-Timor Leste maka sebaiknya ditolak sebelum segala sesuatu terjadi. Penolakan ini pun bukan sikap pemerintah Indonesia seutuhnya tetapi menjadi sikap LSF sebagai lembaga teknis yang berkompeten.

“Jadi publik juga tidak berlebihan menarik kesimpulan terlalu dini dengan mengatakan Indonesia menolak film ‘Balibo Five’ diputar negara kepulauan ini, karena tidak pada tempatnya,” katanya. Ia menegaskan, persoalan buruk masa lalu antara Indonesia-Timor Leste sudah dikubur semuanya oleh kedua negara, sehingga Australia tidak perlu lagi membuka lembaran masa lalu lewat Balibo Five.

“Tewasnya lima orang wartawan Australia dalam insiden Balibo, merupakan risiko dari para jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan di daerah konflik,” katanya.

Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana menyatakan “Jangan melarang, toh itu (Balibo Five) belum tentu itu benar atau kenapa tidak buat versi pemerintah saja kalau memang punya versi yang lain”.

Menurut dia film Balibo Five justru memberikan pembelajaran yang positif khususnya bagi rekan-rekan wartawan. “Jurnalis jadi bisa belajar terutama ketika meliput di daerah rawan konflik,” tambahnya.

Hendrayana juga menginginkan jika apa yang dikisahkan dalam film tersebut diteliti kembali kebenarannya. “Kalau benar demikian maka hal tersebut harus diungkap, tidak bisa dibiarkan,” paparnya.

ini cuplikan filmnya :

 

http://berandakawasan.wordpress.com/?s=balibo&searchbutton=go!

0 comments:

Post a Comment

16.25

Tentang Blog Ini

Anda Pengunjung ke

Kategori

Blog Archive

Followers

My Blog List